DJP Tegaskan UU KUP Sudah Mengenal Konsep Kepemilikan Manfaat (Beneficial Ownership)

Jakarta, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sudah mengenal dan memuat konsep kepemilikan manfaat atau beneficial ownership dalam regulasi perpajakan di Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Data dan Informasi Perpajakan DJP, Max Darmawan, yang menyebut bahwa konsep tersebut tertuang dalam Pasal 32 ayat (4) UU KUP sebagai bagian dari upaya memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kepemilikan perusahaan.
Landasan Hukum: UU KUP Pasal 32 ayat (4)
Dalam UU KUP, Pasal 32 ayat (1) huruf (a) menyebut bahwa badan hukum diwakili oleh pengurus dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Kemudian, Pasal 32 ayat (4) menjelaskan bahwa “pengurus” dapat mencakup pihak-pihak yang secara nyata mempunyai kewenangan menentukan kebijakan atau mengambil keputusan dalam perusahaan, meskipun orang tersebut tidak tercantum dalam akta atau tidak secara formal disebut sebagai pengurus.
Ayat penjelas UU KUP juga memperluas cakupan definisi pengurus ke pihak yang secara nyata melakukan tindakan seperti menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan pengambilan keputusan penting di dalam perusahaan—bahkan jika orang tersebut bukan pengurus resmi menurut dokumen hukum.
Dengan demikian, konsep kepemilikan manfaat ini mencakup komisaris, pemegang saham mayoritas, atau pihak pengendali yang secara de facto mengatur perusahaan meski tidak berada di struktur formal.
Mengapa Kepemilikan Manfaat Penting dalam Pajak?
Konsep beneficial ownership penting bagi DJP dalam konteks:
- Penanggulangan praktik penghindaran pajak dan pencucian uang, karena melalui konsep ini pihak tersembunyi yang mengendalikan usaha tidak bisa “bersembunyi” di balik struktur lembaga formal.
- Pemeriksaan dan penagihan pajak — memudahkan identifikasi siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dalam perusahaan ketika pengurus formal tidak memiliki aset penting.
- Kepastian hukum dan transparansi, agar pihak yang mendapat manfaat sebenarnya dapat dipertanggungjawabkan bila terdapat pelanggaran perpajakan.
Max Darmawan mengungkap bahwa DJP telah mulai menggunakan data kepemilikan manfaat yang diserahkan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) lewat aplikasi internal seperti SmartWeb, untuk memverifikasi hubungan pihak-pihak yang mempunyai pengaruh nyata di perusahaan.
Sejak 2019 hingga 2025, DJP sudah mengolah lebih dari 100 data korporasi dan 152 data kepemilikan manfaat untuk mendukung kegiatan pemeriksaan, penagihan, dan proses bukti permulaan.
Catatan & Tantangan
Beberapa catatan penting terkait implementasi konsep ini:
- Kewajiban pelaporan
Perusahaan diharuskan memperbarui data pemilik manfaat secara berkala, menyusun dokumentasi, dan mengisi kuesioner terkait. - Definisi yang abu-abu
Meski UU KUP sudah mengakui keberadaan “pengurus de facto”, masih terdapat ruang interpretasi tentang siapa yang dapat dikategorikan sebagai pemilik manfaat, terutama dalam struktur perusahaan kompleks. - Sinergi data antar lembaga
Keberhasilan penerapan konsep ini sangat tergantung pada koordinasi antar DJP dan lembaga lain (misalnya AHU) untuk memastikan data kepemilikan manfaat dapat diakses, diverifikasi, dan digunakan dalam proses penegakan hukum.
Kesimpulan
Dengan menyatakan bahwa UU KUP sudah mengenal konsep kepemilikan manfaat, DJP menunjukkan komitmen untuk memperkuat akuntabilitas dan transparansi dalam sistem perpajakan. Meski langkah ini penting, keberhasilan operasionalisasinya akan bergantung pada penajaman definisi, peningkatan kualitas data, serta sinergi antar lembaga terkait.
