Dinamika Pemotongan PPh 21 di Instansi Pemerintah: Tantangan Implementasi dan Penyesuaian Regulasi

Jakarta, LMNews — Pemerintah terus memperkuat tata kelola perpajakan di lingkungan instansi pemerintah, khususnya terkait mekanisme pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Setelah diterbitkannya sejumlah regulasi baru, seperti Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor 5/PJ/2024 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025, berbagai instansi kini menghadapi tantangan dalam penyesuaian sistem pelaporan dan administrasi pajak pegawai.

Kewajiban Baru bagi Instansi Pemerintah

Mulai masa pajak Juni 2024, seluruh instansi pemerintah diwajibkan menggunakan Formulir Bukti Potong 1721-A3 sebagai pelaporan pemotongan PPh 21/26 bulanan. Ketentuan ini tertuang dalam PER-5/PJ/2024, yang menggantikan format lama dan mengharuskan pelaporan lebih detail terhadap penghasilan pegawai, tunjangan, serta potongan lainnya.

“Perubahan format bukti potong ini bertujuan meningkatkan akurasi data serta transparansi pelaporan pajak oleh instansi pemerintah,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, di Jakarta, Kamis (9/10).

Ia menambahkan bahwa perubahan tersebut juga merupakan langkah awal integrasi penuh sistem pelaporan pajak instansi pemerintah dengan coretax system DJP yang baru.

Insentif PPh 21 DTP Dorong Efisiensi Fiskal

Selain kewajiban pelaporan baru, pemerintah juga menerbitkan PMK Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP). Kebijakan ini diberlakukan sejak 4 Februari 2025, dan bertujuan meringankan beban pajak bagi pekerja sektor tertentu serta menjaga daya beli di tengah perlambatan ekonomi.

Dalam kebijakan tersebut, pegawai dengan penghasilan tertentu di instansi pemerintah dapat memperoleh fasilitas PPh 21 DTP sesuai kriteria yang ditetapkan. Namun, pelaksanaan di lapangan tidak semudah yang dibayangkan.

Banyak bendahara dan pejabat pengelola keuangan daerah melaporkan adanya perbedaan hasil perhitungan potongan antarinstansi akibat belum seragamnya sistem payroll dan pemahaman regulasi terbaru.

“Kami masih beradaptasi dengan sistem baru, terutama untuk pelaporan DTP dan format 1721-A3. Belum semua software internal bisa menyesuaikan secara otomatis,” ujar Lina Pratiwi, Kepala Subbagian Keuangan di salah satu lembaga pemerintah daerah.

Kendala Implementasi dan SDM

Beberapa instansi juga mengakui bahwa sumber daya manusia di bidang perpajakan masih terbatas. Banyak operator pajak internal yang belum mengikuti pelatihan terkait kebijakan PPh 21 terbaru, sehingga proses validasi data sering kali dilakukan secara manual.

Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, Ahmad Rizal, menilai bahwa pemerintah perlu memperkuat pelatihan dan pendampingan agar transisi ini berjalan efektif.
“Transformasi sistem pelaporan pajak pemerintah tidak bisa hanya bergantung pada regulasi. Diperlukan kesiapan SDM, sistem informasi, dan koordinasi antarinstansi,” jelasnya.

Perlunya Standarisasi dan Transparansi

Perbedaan sistem dan metode perhitungan PPh 21 antarinstansi kerap menimbulkan pertanyaan dari para pegawai. Beberapa ASN mengeluhkan nominal potongan pajak yang berbeda, meski dengan besaran gaji yang relatif sama.

DJP menegaskan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan komponen penghasilan atau klasifikasi tunjangan yang dikenakan pajak. Oleh karena itu, pemerintah mendorong setiap instansi melakukan standarisasi internal penggajian dan pelaporan pajak agar lebih konsisten dan transparan.

Penutup

Dinamika pemotongan PPh 21 di instansi pemerintah mencerminkan upaya pemerintah dalam memperkuat kepatuhan dan transparansi fiskal. Namun, tantangan utama masih terletak pada kesiapan sistem administrasi dan sumber daya manusia. Dengan penerapan PER-5/PJ/2024 dan PMK 10/2025, pemerintah berharap tata kelola pajak di sektor publik semakin akuntabel dan selaras dengan prinsip good governance.