Deposit Pajak Tekan Kinerja PPN, Ini Penjelasan Lengkap dari Kemenkeu

Jakarta, LMNews – Di tengah realisasi penerimaan perpajakan yang mengalami tekanan, fenomena deposit pajak disebut-sebut menjadi salah satu faktor yang membuat angka penerimaan PPN dan PPnBM tampak lesu. Bagaimana sebenarnya mekanisme deposit pajak ini dan apa penjelasan resmi dari Kementerian Keuangan? Berikut ulasannya.

Realisasi PPN & PPnBM: Angka yang Tertekan

Hingga Agustus 2025, realisasi penerimaan PPN dan PPnBM bruto tercatat senilai Rp 631,8 triliun, mengalami kontraksi sekitar 0,7 % dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, penerimaan neto dari PPN dan PPnBM tercatat Rp 416,49 triliun, lebih rendah 11,5 %.

Meski kontribusi PPN biasanya menjadi tolok ukur vital bagi penerimaan pajak, performanya justru melemah dibanding jenis pajak lain yang secara bruto masih menunjukkan pertumbuhan.

Mengapa Deposit Pajak Dituduh “Menekan” Kinerja PPN?

Penurunan penerimaan PPN dan PPnBM bukan disebabkan melemahnya aktivitas ekonomi semata, melainkan karena sebagian pembayaran pajak masuk ke dalam kategori “pajak lainnya / deposit” dan belum dialokasikan ke jenis pajak pokok tertentu.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menyebut bahwa fenomena ini menyebabkan distorsi dalam analisis penerimaan per jenis pajak. Dana deposit akan menjadi jelas jenisnya ketika wajib pajak menyampaikan SPT.

Dengan demikian, angka bruto PPN tampak menurun, padahal secara fundamental aktivitas ekonomi dan kewajiban PPN tetap berjalan. Deposit yang belum dialokasikan ke PPN menyebabkan “persepsi” bahwa penerimaan PPN melemah.

Lonjakan Deposit Pajak: Peluang & Tantangan

Sejak implementasi sistem Coretax pada awal 2025, jumlah deposit pajak mengalami lonjakan yang signifikan. DJP menyebut pertumbuhan deposit bisa mencapai 1.300 % dari target semula.

Kenaikan ini mendorong komponen pajak lainnya sebagai penyumbang besar kepada penerimaan negara. Namun, di sisi lain, penggunaan deposit yang belum dialokasikan menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi pemerintah daerah, terkait perhitungan Dana Bagi Hasil (DBH). Jika setoran pajak masih tergolong “deposit” tanpa identifikasi jenis pajak, maka kontribusinya dalam DBH menjadi tidak jelas.

Respons Kementerian Keuangan & Strategi Ke Depan

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) aktif mendorong agar wajib pajak:

  1. Segera mengalokasikan deposit ke jenis pajak yang sesuai saat menyampaikan SPT, sehingga jelas distribusinya.
  2. Melaporkan SPT secara tepat waktu agar alokasi deposit dapat diidentifikasi dan dianalisis per jenis pajak.

Yon Arsal menyatakan bahwa analisis penerimaan per jenis pajak hanya dapat dilakukan bila pemindahbukuan atas deposit telah dilakukan.

Sementara itu, pemerintah meyakini bahwa penggunaan deposit pajak tidak merusak postur penerimaan negara secara keseluruhan. Hanya saja, distribusi antar jenis pajak — khususnya PPN — menjadi “tertunda” hingga proses alokasi dilakukan.

Untuk mendukung transisi ini, DJP juga terus menjelaskan mekanisme deposit pajak kepada wajib pajak melalui sosialisasi agar mereka memahami cara penggunaan deposit dan implikasi kewajiban perpajakan.

Catatan & Implikasi untuk Masyarakat

  • Bagi wajib pajak, fitur deposit pajak dapat menjadi alat proteksi terhadap sanksi bunga keterlambatan — asalkan deposit segera dialokasikan ke jenis pajak yang benar saat SPT diajukan.
  • Bagi pemerintah pusat & daerah, fenomena deposit memerlukan adaptasi dalam pengukuran penerimaan per jenis dan mekanisme DBH agar distribusi anggaran tidak terganggu.
  • Untuk analisis ekonomi & fiskal, penting menafsirkan data penerimaan PPN dengan mempertimbangkan dampak alokasi deposit agar tidak keliru menarik kesimpulan tentang kesehatan sektor konsumsi atau aktivitas ekonomi.